Penulis: Ridho Azhari, Ketua Umum HMI MPO Komisariat Tarbiyah IAIN SAS Bangka Belitung
Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi strategis di Indonesia dengan kontribusi besar terhadap ekonomi nasional melalui produksi timah. Timah dari Babel telah menjadi komoditas bergengsi di pasar global serta menjadi bahan baku penting bagi industri elektronik, otomotif, dan energi terbarukan.
Namun, di balik kejayaan ekspor tersebut, masyarakat Bangka Belitung masih menghadapi ketimpangan ekonomi dan sosial yang tajam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat tingkat kemiskinan di Bangka Belitung mencapai 5,1 persen, sementara kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah mencapai lebih dari 60 persen. Ironisnya, sebagian besar keuntungan dari sektor ini justru mengalir keluar daerah, terutama kepada korporasi besar dan pemerintah pusat melalui mekanisme pajak serta royalti nasional.
Ketimpangan Hasil Tambang dan Ketidakadilan Fiskal
Bangka Belitung menyumbang lebih dari 90 persen produksi timah nasional, dengan nilai ekspor mencapai USD 1,5 miliar pada tahun 2024. Namun, penerimaan daerah hanya memperoleh sebagian kecil dari total nilai ekonomi tersebut akibat sistem bagi hasil yang ditetapkan pemerintah pusat.
Kondisi ini menyebabkan Bangka Belitung memiliki kapasitas fiskal yang terbatas untuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, dan melakukan reklamasi lingkungan. Oleh karena itu, status otonomi khusus (Otsus) menjadi penting untuk memperkuat kontrol fiskal serta kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal.
Kerusakan Lingkungan dan Krisis Sosial
Aktivitas pertambangan telah menyebabkan 150.000 hektar lahan menjadi kritis (KLHK, 2024). Akibatnya, nelayan kehilangan mata pencaharian karena sedimentasi laut, sementara para penambang rakyat bekerja tanpa jaminan sosial maupun keselamatan kerja.
Paradoks ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan tambang saat ini gagal menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan. Melalui otonomi khusus, Bangka Belitung dapat menerapkan regulasi lingkungan berbasis kearifan lokal serta mengembangkan mekanisme pertambangan berbasis komunitas (community-based mining) yang memberi ruang partisipasi lebih luas bagi masyarakat.


















