Dia mengatakan, jika di masjid ada kegiatan pengajian atau salat Tarawih yang berbenturan dengan jadwal perayaan di klenteng, maka pihaknya mehanan diri.
“Misalnya bersamaan kita mau sembahyang Rebut, maka pembukaan tari barongsai ditiadakan. Karena barongsai di sini bukan diharuskan atau wajib, barongsai adalah kesenian yang ditradisikan saja,” kata Paularita.
Ia berharap keharmonisan antardua agama ini dapat terjalin dengan baik. Karena ini merupakan peninggalan leluhur dan harus dijaga.
Dia menyebutkan, Kelenteng Kong Fuk Miau lebih tua dari Masjid Jami. Menurut dokumen yang diterima pada tahun 1820 di abad 18, zaman Dinasti Chingi.
Namun pihaknya, tetap memelihara peninggalan leluhurnya untuk menjaga toleransi yang telah terjalin selama ini.
Seperti saat ada kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan, biasanya mereka saling bertukar posisi guna menjaga toleransi.
Misalnya, pengurus kelenteng membersihkan perkarangan masjid dan begitu pun sebaliknya.
“Kita kumpul di lapangan, kami kepengurusan klenteng ini akan diarahkan untuk membersihkan halaman perkarangan masjid. Sebaliknya yang pengurus masjid diarahkan ke klenteng. Inilah contoh kerukunan kami,” ujarnya.
Kerukunan ini diakui Paularita sudah terjalin berabad-abad dan diturunkan terus ke generasi selanjutnya.
Sebagai generasi baru, menjadi tugas mereka menjaga kesatuan dan hidup rukun berdampingan.
“Kita sudah rukun sejak dulu, sudah tertanam dari nenek moyang, kita sebagai generasi penerus cuma meneruskan saja apa yang sudah ada,” ucapnya.
