PANGKALPINANG – Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama PT Timah Tbk resmi menetapkan harga beli timah rakyat sebesar Rp260.000 per kilogram untuk kadar 100 persen.
Kesepakatan ini diumumkan dengan penuh optimisme, disertai sistem pembayaran tunai (cash and carry), dan harapan agar rencana demonstrasi warga pada 6 Oktober mendatang dibatalkan.
Namun di balik angka yang tampak menguntungkan, muncul pertanyaan besar: apakah benar penambang kecil akan merasakan dampaknya?
Fakta inti kesepakatan
Harga timah kadar 100% ditetapkan Rp260.000/kg. Untuk kadar 70%, harga hanya berkisar Rp110.000–Rp130.000/kg.
PT Timah menegaskan formula berbeda untuk tiap kadar, sementara kolektor di lapangan diingatkan agar tidak membeli di bawah Rp100.000/kg.
Mekanisme pembayaran tunai diberlakukan demi mempercepat transaksi.
Status Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) masih menunggu Perda, artinya kepastian hukum bagi penambang belum final.
Celah masalah di balik harga baru
Investigasi lapangan menunjukkan, penetapan Rp260 ribu tidak serta merta menjamin kesejahteraan penambang kecil:
Kesenjangan kadar sebagian besar timah rakyat bercampur atau belum murni 100%. Perbedaan harga yang besar membuat kolektor berpeluang membeli murah, lalu menjual kembali dengan margin tinggi.
Sistem tunai berisiko manipulasi
Meski cash and carry dianggap solusi, tanpa verifikasi timbangan dan kadar resmi, transaksi tetap rawan permainan harga di luar pengawasan.
Kepastian hukum belum jelas
Tanpa WPR, penambang rakyat masih berada di wilayah abu-abu hukum. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi atau bahkan penindakan.
Motif politik dan timing
Kenaikan harga diumumkan tepat sebelum jadwal demonstrasi. Hal ini memunculkan dugaan bahwa keputusan lebih bersifat taktis untuk meredam tekanan publik, bukan strategi jangka panjang.
Sementara itu, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Hidayat Arsani bersama seluruh jajaran Forkopimda Provinsi Babel menggelar rapat diskusi di Ruang Tanjung Pendam, Kantor Gubernur, Selasa (30/9/2025),