JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkap temuan serius mengenai meningkatnya keterlibatan anak dalam jaringan radikal. Sebanyak 110 anak di Indonesia teridentifikasi telah direkrut kelompok radikal melalui platform digital seperti media sosial dan game online.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menyebut angka tersebut merupakan lonjakan drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Dari tahun 2011 sampai 2017, kami hanya menemukan sekitar 17 anak yang terpapar atau terlibat. Namun kini, lebih dari 110 anak telah teridentifikasi direkrut oleh kelompok radikal, terutama melalui ruang digital,” ujar Mayndra.
Mayndra menjelaskan bahwa kelompok radikal memanfaatkan game online, media sosial, dan ruang percakapan digital untuk mendekati dan memengaruhi anak-anak.
“Modus mereka sudah berubah. Banyak dari mereka masuk lewat game online, membuat hubungan emosional, kemudian mengarahkan anak-anak ini pada ideologi radikal,” ungkapnya.
Anak-anak yang teridentifikasi berasal dari 23 provinsi dengan rentang usia mulai dari 10 hingga 18 tahun.
Polri telah menangkap lima tersangka yang diduga menjadi pengendali perekrutan. Beberapa di antaranya merupakan aktor lama yang sebelumnya pernah dihukum dalam kasus terorisme.
“Ada pelaku lama yang kembali melakukan perekrutan setelah bebas. Mereka memanfaatkan celah digital untuk mencari target baru, terutama anak-anak,” jelas Mayndra.
Menurutnya, anak-anak menjadi sasaran empuk karena sejumlah faktor seperti bullying, kurangnya perhatian keluarga, pencarian identitas diri, hingga rendahnya literasi digital.
“Kami mengimbau orang tua untuk meningkatkan pengawasan dan pendampingan terhadap aktivitas digital anak. Dunia digital adalah pintu masuk terbesar mereka,” kata Mayndra.
Densus 88 memastikan akan terus berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk memberikan pendampingan kepada anak yang menjadi korban rekrutmen radikal, serta menindak mereka yang terlibat dalam jaringan tersebut.














