Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan malah berubah menjadi alat yang justru mempertahankannya.
Dari sudut pandang Fungsionalisme, krisis ini adalah tanda bahwa sistem pendidikan nasional gagal menjalankan fungsi pemerataan dan integrasi sosial.
Ketika ada sekelompok anak yang tidak bisa mengakses pendidikan hanya karena sistem administratif tidak fleksibel, itu berarti ada bagian dari sistem yang tidak bekerja.
Jika kondisi ini dibiarkan, rasa kecewa terhadap negara akan semakin besar dan bisa menciptakan ketidakstabilan sosial di daerah tersebut. Sistem yang seharusnya menjamin keadilan malah menciptakan jurang kesenjangan.
Sementara itu, Interaksionisme Simbolik melihat dampak yang lebih halus tetapi sangat berbahaya: makna simbolis yang diterima anak-anak. Ketika sekolah mereka dianggap “tidak layak” atau “tidak penting”, mereka bisa merasa bahwa pendidikan mereka tidak dihargai oleh negara.
Label negatif seperti ini bisa tertanam dalam diri anak-anak dan membentuk keyakinan bahwa mereka memang tidak ditakdirkan untuk berhasil, seolah-olah masa depan mereka sudah ditentukan sejak kecil. Pendidikan yang biasanya menjadi sumber harapan malah berubah menjadi simbol pengabaian.
Meski situasinya sulit, masyarakat Dusun III Ulu tidak tinggal diam. Warga dan pemerintah desa justru melakukan perlawanan kolektif. Mereka mengadakan pertemuan bersama Camat dan UPTD DIKPORA untuk menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh dikorbankan oleh aturan administrasi.
Beberapa warga bahkan menyediakan tempat tinggal sementara untuk guru, menunjukkan bahwa mereka siap berjuang demi tetap adanya pendidikan di dusun mereka. Ini membuktikan bahwa masyarakat kecil pun mampu melawan hegemoni birokrasi ketika masa depan anak-anak mereka dipertaruhkan.
Karena itu, solusi yang dibutuhkan tidak bisa lagi sekadar tambal sulam. Pemerintah daerah harus berani mengambil langkah struktural, misalnya dengan menerbitkan SK Penegerian agar sekolah tidak lagi berstatus filial dan memiliki hak penuh atas dana BOS maupun legalitas administratif lainnya.

















