Menurut IPTU Harits, perbuatan tersebut diduga terjadi sejak korban masih berusia 13 tahun hingga berusia 19 tahun. Peristiwa itu baru diketahui pada Selasa, 23 Desember 2025, setelah korban memberanikan diri menceritakan pengalaman pahitnya kepada pihak keluarga.
“Kasus ini mencerminkan realitas pahit bahwa banyak korban memilih diam karena takut, tertekan, atau tidak memiliki ruang aman untuk bersuara,” tegasnya.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, dengan ancaman pidana penjara berat.
Saat ini, penyidik masih melengkapi berkas penyidikan, memeriksa saksi tambahan, menyita barang bukti, serta berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memastikan para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Polres Bangka Barat menegaskan bahwa penegakan hukum harus berjalan beriringan dengan kampanye masif perlindungan anak. Aparat mengimbau orang tua, keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, dan lingkungan sekitar untuk tidak menutup mata terhadap tanda-tanda kekerasan seksual.
Pengawasan aktif, komunikasi terbuka dengan anak, serta keberanian melapor menjadi kunci utama pencegahan. Anak-anak harus diajarkan mengenali batas tubuh, berani berkata tidak, dan tahu kepada siapa harus melapor ketika merasa terancam.
Dua kasus ini menegaskan satu pesan penting: melindungi anak adalah tanggung jawab bersama. Setiap pembiaran adalah ruang bagi kejahatan, dan setiap keberanian melapor adalah langkah menyelamatkan masa depan.















