Penulis: Abdi Mahatma, Kendari
Ini benar-benar kabar tak enak. Sampai Mei 2025, sudah ada 26.455 orang kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Itulah yang baru saja diumumkan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
Entah apa yang ada di pikiran para penyelenggara negara itu saat menjumlah orang-orang yang hidupnya mendadak oleng, tiba-tiba tak tahu harus bagaimana menjalani hari-hari dengan anak yang masih sekolah, dan cicilan motor yang belum lunas.
Angka 26 ribuan itu hanyalah yang tercatat. Yakinlah, ada lebih dari jumlah itu yang kini tengah diliputi kecemasan karena perusahaan tempatnya bekerja tiba-tiba memilih harus merampingkan orang.
Biaya produksi dikurangi, karena penjualan menurun. Pasar sedang lesu dan aneka dalih. Termasuk teknologi yang makin hari tak lagi butuh manusia. Perusahaan memilih jalan tega bernama “pecat”. Bila opsi lain, mereka berunding. Gajinya dikurangi atau mundur tanpa pesangon.
Hari-hari berikut, jumlah orang yang tiba-tiba tak bekerja, bisa saja makin banyak. Percayalah, PHK massal yang kini tengah melanda negeri, bukan sekadar angka yang dibaca dalam berita. Ia adalah gema kosong dari ruang-ruang produksi yang tak lagi beroperasi.
Ia adalah denting keyboard yang berhenti. Ia senyap yang menggantikan gelak tawa di kantin. Orang-orang yang masa depannya mendadak diamputasi itu hanya berusaha berdiri tapi ada luka yang menganga di jiwa. Seperti daun-daun kering yang gugur di musim kemarau.
Mereka terhempa oleh keputusan dingin di ruang rapat yang tak pernah mereka tengok. Ribuan orang, dari sudut-sudut kantor yang dulu hidup dengan canda tawa dan deru ambisi, kini berjalan pulang dengan amplop di tangan dan sunyi di dada.
Entah, penjelasan masuk akal seperti apa yang bakal disampaikan ke anak dan istri, yang dengan senyum menanti di rumah. Esok, saat pagi yang biasanya dimulai dengan kopi hangat dan sarapan nasi kuning, berubah jadi denting hidup yang perlahan kehilangan melodi dan harmoni.
Mereka tak lagi memulai hari dengan mandi dan berseragam, layaknya hari-hari biasa. Kehilangan pekerjaan, luka psikologisnya dapat menjelma menjadi gangguan mental serius. Ia bisa menjadi krisis sosial yang mengancam stabilitas keluarga dan komunitas lalu memicu kecemasan, depresi, trauma jangka panjang dan kesulitan berintegrasi dengan kehidupan sosial.
Individu yang terkena PHK memiliki risiko dua kali lipat mengalami depresi akut. Sementara, nun jauh disana, di ruang-ruang kerja para penentu kebijakan, nasib para korban PHK hanya dibahas sekali lewat dan bukan topik utama.